APSI Nganjuk

My photo
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Sebagai Media Informasi Pendidikan & Pembelajaran (Dari Kita Untuk Semua) Kontak: 082143737397 atau 085735336338

Thursday, May 11, 2017

INSTRUMENTASI ‘’LOCUS OF CONTROL’’SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR

INSTRUMENTASI ‘’LOCUS OF CONTROL’’SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR*
                                                                  

AS good as, a person’ Locus of Control is where that person Place the primary causation of events in his or her life. Locus Of Control theory evolved from Bandura’s Social Learning Theory, which poists that observed and imitated behaviors are Either reinforced through reward or extinguished through punishment. According to rotter, Locus of Control falls on a continuum, with those who believe that their life is largelycontrolled by outside forces (externals) falling on one end ofthe spectrum while those who belive that by and large they control they own lives (internals) falling on the other end. Nevertheless, according to levenson, Locus of Control falls on A continuum internal (I), powerful others (P),and chance (C)factors. The aims of this research that to examined feasibility musing scale Locus of Control both by Rotter and Levenson tomeasure Locus of Control of elemntary school Students. Theresult show that, scale IPC-Locus of Control Levenson validand reliabel than scale of Locus of Control Rotter if usingmeasure of elementary school students’ Locus of Control.

Keywords : Locus of control, instrumentation, motivation, atributionTheory.

PENDAHULUAN

Tema pokok supervisi pengajaran yang sering mengemuka adalah bagaimana para guru secara terus menerus (kontinyu) membangkitkan dan memperdayakan motivasi siswa. Motivasi yang di defisinikan sebagai proses dimana aktivitas-aktivitas yang berorientasi target di buat terjadi dan di pertahankan kelangsungannya (Schunk,2012), harus terus menerus di pupuk. Argumen utamanya ialah karena pilihan atas tugas-tugas, upaya, baik fisik dan mental, ketekunan dan prestasi merupakan tindakan–tindakan yang dilandasi motivasi. Secara teoritis tentu banyak ragam motivasi seperti motivasi belajar, motivasi berprestasi, motivasi perilaku, motivasi sosial, dan lain-lain. Pada siswa sekolah dasar, motivasi paling mendasar yang relevan diperhatikan adalah motivasi belajar
Studi tentang motivasi sudah sering ditemukan oleh para ahli terutama dalam hubungannya dengan belajar seseorang dan peningkatan prestasinya dalam berbagai bidang. Teori-teori yang mendasarinya juga terangkum dengan baik dalam leteratur psikologi , mulai dari teori dengan prespektif lama seperti dorongan, pengkondisian; maupun dengan prespektif baru seperti teori konsistensi kognitif, teori humanistik, hingga teori lain seperti motivasi berprestasi, teori atribusi, dan teori kognitif sosial. Teori motivasi dalam kaitannya dengan pendidikan dan pembelajaran manusia secara lengkap telah dirangkum dengan baik oleh Schunk, Pintrich, dan Meece (2012), juga oleh Pintrich 2000.
Bukti empirik bahwa motivasi berprestasi, selain konsep diri akademik mempunyai korelasi yang signifikan dengan prestasi akademik para siswa disekolah menengah, ditemukakan misalnya oleh Emmanuel, Et.al. (2014), dan juga oleh Strobel (2010), yang memastikan bahwa alur konsekuensi dimulai dari praktik didalam kelas yang berpengaruh terhadap motivasi belajar dan kemudian mempengaruhi prestasi belajar.  Sedangkan pengaruh gaya pengasuhan orang tua, motivasi berprestasi dan efikasi diri terhadap kinerja dan akademik dibuktikan oleh Turner, Chandler, dan Heffer (2009). Ames dan Archer (1998), jauh-jauh hari juga membuktikan bahwa setiap pencapaian tujuan belajar didalam kelas tidak dapat dilepaskan dari strategi belajar dan proses motivasi yang di optimalkan. Dibidang penguasaan bahasa Inggris, Lasaga baster(2011), membuktikan bahwa meskipun motivasi merupakan konstruk psikologis yang kompleks, pada kenyataannya motivasi berpengaruh terhadap prestasi atau penguasaan bahasa inggris sesorang, Sementara Moore, Grabsch, & Rotter(2010), menggunakan teori motivasi berprestasi sebagai penjelas partisipasi siswa dalam komunitas belajar kepemimpinan daerah.
Meskipun demikian, masih banyak pertanyaan yang mengemukaan dalam supervisi klinis maupun supervisi pengajaran yang di lontarkan para guru perihal bagaimana  cara membangkitkan dan memperdayakan motivasi. Apakah setiap orang memiliki bentuk motivasi yang sama? Apakah efektif jika pembangkitan dan pemberdayaan motivasi di lakukan secara klasikal tanpa mencermati kepribadian masing-masing siswa?
Pertanyaan para guru mendorong penulis untuk lebih jauh menelisik hal itu. Hasilnya, adalah ternyata motivasi tidak hadir begitu saja pada diri seseorang atau sebagai variabel yang berdiri sendiri, melainkan di pengaruhi oleh baerbagai faktor penyebab atau yang dalam teori atribusi disebut sebagai persepsi penyebab (causal perception). Teori atribusi di terapkan secara luas pada penelitian motivasi (Graham & Wiliams ; Schunk et.al., 2008). Atribusi adalah penyebab hasil. Teori atribusi menjelaskan bagaimana orang-orang memandang penyebab perilaku mereka dan orang lain (Weiner ,2004 ). Teori ini mengasumsikan bahwa orang-orang condong untuk mencari informasi untuk membentuk atribusi. Proses memahami penyebab diperkirakan diatur oleh aturan, dan banyak penelitian atribusi membahas bagaimana aturan di gunakan. Dari sudut pandang motivasi, atribusi menjadi penting karena hal ini mempengaruhi keyakinan, emosi, dan perilaku.
Atas dasar argumentasi teoritis tersebut, penulis selaku pengawas sekolah (school superintenden) memandang penting untuk melakukan studi pendahuluan (preliminary study) dengan fokus pada locus of control  sebagai salah satu variabel penyebab motivasi .Studi pendahuluan ini diletakkan pada konteks eksperimen kuasi tentang pengaruh epitome, rangkuman dan locus of control/terhadap hasil belajar bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (social studies) para siswa Kelas V SD diKabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tujuan utama penelitian pendahuluan dengan fokus instrumentasi locus of control di kalangan siswa sekolah dapat diukur, dengan mengajukan pertanyaan, instrumen manakah yang valid dan reliabel inilah yang dapat digunakan untuk mengukur locus of control siswa SD? Hasil instrumen yang valid dan reliabel inilah yang dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar bagi pembangkitan dan pemberdayaan motivasi belajar siswa. Berdasarkan teori persepsi penyebab, locus of control akan bisa memilih kepribadian siswa sebagai basis pembangkitan dan pemberdayaan motivasi belajar siswa.
Didalam teori persepsi penyebab, persepsi penyebab mempengaruhi motivasi melalui pengklasifikasian persepsi penyebab menurut dimensi-dimensi yang didasarkan pada sebuah analisis tentang struktur kausalnya. Dimensi-dimensi ini yaitu, locus, stabilitas dan kemampuan kontrol-berimplikasi pada murid perihal keyakinan pengharapan, emosi, dan perilaku termotivasi. Analisis  struktur persepsi penyebab telah dijalankan dengan dua cara umum, yakni melalui analisis logis dan analisis empiris (Weiner,2004). Analisis logis menyangkut peneliti menyelidiki persepsi penyebab yang berbeda-beda dan kemudian menenmpatkannya dalam kategori yang berbed-beda atau di sepanjang dimensi-dimensi (misalnya, penyebab internal versus eksternal) menurut pertimbangan teoritis. Belakangan, muncul analisis empiris dalam penelitian tentang persepsi penyebab, yang menyangkut penggunaan metode statistik  (misalnya, analisis faktor, pengukuran skala multidimensi) untuk menentukan cara individu-individu melakukan skala penilaian terhadap berbagai persepsi penyebab mengelompok bersama-sama. Melalui analisi logis, atau apakah penyebab sifatnya internal atau eksternal bagi individu; (b) dimensi stabilitas, atau seberapa stabilnya penyebab dari waktu ke waktu; dan (c) dimensi kemampuan kontrol, atau seberapa dapat dikontrolnya penyebab. Meskipun ada ketidak sepakatan tertentu mengenai sifat dasar yang pasti dari ketiga dimensi ini, ada kesepakatan bahwa masing-masing dimensi ini berimplikasi pada motivasi dan efek individu Schunk, Pintrick, & Meece (2012).
Dimensi lokus yang menjadi fokus penelitian ini berkenan dengan apakah sebuah penyebab dipersepsikan sebagai inernal atau eksternal bagi individu. Sebagai contoh, kemampuan  dan usaha, keduanya diklasifikasikan sebagai penyebab internal, sedangkan kesulitan tugas dan keberuntungan, keduanya diklasifikasikan sebagai penyebab eksternal. Perbedaan dasar ini, antara penyebab internal versus penyebab eksternal, sesuai dengan pertanyaan pokok di dalam teori persepsi penyebab perihal pengaruh relatif faktor personal dan faktor lingkungan pada perilaku individu (Heider, 1958).
Secara historis, aplikasi paling umum dari dimensi ini sebagai konstruk psikologi adalah hasil penelitian  Rotter (1996), tentang locus of control. Seperti yang disampaikan sebelumnya, individu-individu diklasifikasikan sebagai internal ketika mereka meyakini bahwa konsekuensi disebabkan perilaku mereka sendiri, sedangkan exsternal adalah individu-individu yang meyakini bahwa konsekuensi berada diluar kontrol mereka dan dikarenakan faktor-faktor sperti keberuntungan, takdir, dan individu lain. Murid yang memiliki kontrol internal akan meyakini bahwa nilai-nilai akademisnya bergantungan pada kemampuan, keterampilan, atau usahanya sendiri, sedangkan murid kontrol eksternal akan meyakini bahwa nilai-nilai akademisnya merupakan fungsi darikeberuntungan,gurunya, atau faktor eksternal lainnya. Guru yang memiliki kontrol internal akan meyakini bahwa pembelajaran murid–muridnya dapat dikontrol oleh dirinya hingga titik tertentu, serta bahwa keberuntungan, peluang, atau faktor eksternal lainnya seperti lingkungan orangtua dan keluarga merupakan berbagai determinan utama pembelajaran siswa.
Keyakinan utama dalam sebagian besar teori motivasi ialah bahwa orang-orang mencoba mengontrol aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka (Schunk & Zimmerman, 2006). Keyakinan ini mencerminkan pemikiran mengenai locus of control, atau sebuah harapan yang disamaratakan terkait apakah respons mempengaruhi hasil yang diperoleh  seperti keberhasilan dan hadiah (Rotter, 1966). Orang-orang meyakini bahwa hasil terjadi secara independen terkait dengan cara mereka bersikap (locus of control) atau hasil tersebut terjadi secara tidak sengaja dalam perilaku mereka.
Peneliti lainnya menyatakan bahwa locus of control bentuknya beragam tergantung pada situasi (Phares,1976). Sudah menjadi hal yang biasa menemukan siswa yang secara umum percaya bahwa mereka hanya mampu sedikit mengontrol keberhasilan dan kegagalan akademik tetapi juga meyakini mereka bisa melakukan kontrol yang besar pada kelas tertentu karena guru dan teman bersifat membantu dan karena meraka menyukai kontennya. Locus of control merupakan hal penting pencapainnya karena keyakinan dan harapan dipotensikan mempengaruhi perilakunya. Siswa yang percaya mereka memiliki kontrol atas keberhasilan dan kegagalan harus lebih gigih dalam mengerjakan tugas akademik, mengembangkan usaha, dan ulet dibandingkan sosial yang meyakini perilaku mereka hanya berpengaruh kecil pada hasil. Dengan demikian, usaha dan keuletan meningkatkan pencapain (Phares,1976).
Terlepas dari apakah locus of control merupakan pemberi kecenderungan umum atau khusus secara situasi, ia mencerminkan harapan hasil (keyakinan mengenai hasil yang akan didapat karena satu tindakan). Harapan hasil merupakan penentuan perilaku berprestasi yang penting, tetapi itu saja, menurut Bandura (1997), tindaklah cukup. Siswa tidak mengerjakan tugas karena mereka tidak mengharapkan kinerja kompeten untuk mewujudkan hasil yang diinginkan (harapan pada hasil negatif), seperti yang akan terjadi jika mereka meyakini bahwa guru tidak menyukai mereka dan tidak akan menghargai seberapa baikpun mereka bekerja. Harapan pada hasil yang positif tidak menjamin motivasi yang tinggi. Siswa mungkin percaya bahwa kerja keras akan menghasilkan nilai yang baik, tetapi mereka tidak akan bekerja keras jika mereka ragu dengan kemampuan mereka untuk menunjukkan usaha (efikasi diri rendah).
Selain hal-hal pokok ini, efikasi diri dan harapan hasil biasanya berhubungan (Bandura,1997). Siswa yang meyakini bahwa mereka mampu bekerja dengan baik (efikasi diri tinggi) mengharapkan reaksi positif dari guru mereka atas keberhasilan yang ditunjukkan (harapan hasil positif). Hasil yang gilirannya, mendukung efikasi diri karena hal itu menyatakan bahwa seseorang mampu untuk berhasil (Schunk dan Pajares, 2005).
Pusat kendali (locus of control ) adalah sifat kepribadian yang pertama kali di jelaskan oleh Phares (1957), dilanjutkan oleh Rotter (1956), dalam teorinya tentang pembelajaran sosial. Hal ini mengandung makna bahwa locus of control di kembangkan berdasarkan teori sosial dari Bandura. Teori ini menunjukkan keyakinan seseorang tentang seberapa besar derajat kemampuan seseorang mengendalikan kehidupannya sendiri. Hal ini di ukur berdasarkan suatu kontinum dari internal menuju eksternal melaui kuesioner yang di buat para ahli di atas dan rekan-rekanya. Mereka yang pusat kendalinya bersifat internal cenderung meyakini bahwa mereka sangat bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri, sedangkan bagi mereka yang pusat kendalinya eksternal cenderung menyatakan bahwa sukses dan kegagalan mereka diakibatkan oleh orang lain atau oleh kejadian-kejadian yang tidak dapat di kontrol.
 Locus of control adalah sesuatu yang di yakini individu sebagai pusat yang secara kontinum bergerak dari dalam diri (internal) kearah luar dirinya (eksternal) (Schunk,2012). Hasil berbagai penelitian menunjukan orientasi internal lebih banyak menimbulkan dampak positif. Phares menyatakan mereka yang berorientasi internal cenderung lebih percaya diri, berpikir optimis dalam setiap langkahnya. Scribe menemukan bahwa individu dengan locus of control internal cenderung lebih aktif, berusaha keras, berprestasi, penuh kekuatan, tidak tergantung dan efektif (schunk, 2012).
Menurut Rotter dan para pendukungnya, pusat kendali seseorang mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan berbagai situasi dan mempengaruhi perilaku dalam pola-pola yang bisa di perkirakan. Riset mereka telah membuktikan secara konsisten bahwa mereka yang pusat kendalinya internal di bandingkan dengan yang eksternal cenderung melakukan kegiatan-kegiatan yang mendorong kesehatan,seperti menjaga berat badan, berhenti merokok, memeriksakan gigi secara teratur, dan berolah raga; mereka cenderung lebih tahap terhadap pengaruh sosial dan rayuan, dan pada umumnya lebih dapat menyesuaikan diri dan tidak gampang cemas di bandingkan dengan mereka yang memiliki pusat kendali eksternal. Ganguan mental seperti scbizopbrenia atau depresi pada umumnya di kaitkan dengan pusat kendali eksternal.
Kreitner & Kinachi (2005), mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu yang memiliki locus of control eksternal menganggap bahwa keberhasilan yg dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dimensi locus of control baik internal maupun eksternal dari Rotter memfokuskan pada strategi pencapaian tujuan tanpa memperhatikan asal tujuan tersebut. Bagi seseorang yang mempunyai locus of control internal akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai locus of control eksternal akan memandang dunia sebagai sesuatu yg tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran didalamnya (Kreitner & Kinicki, 2005).
Berdasarkan kajian pustaka dapat diketengahkan bahwa ada perbedaan karakteristik antara locus of control internal dengan locus of control eksternal. Locus of control internal biasanya: suka bekerja keras, memiliki inisiatif yg tinggi selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin, dan selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil. Sedangkan ciri-ciri locus control eksternal ialah: kurang memiliki inisiatif, mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan, kurang suka berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luar lah yang  mengontrol, dan kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai locus of control eksternal diididentifikasikan lebih banyak mencari dan memilih  situasi yang menguntungkan, sementara itu individu yang mempunyai locus of control  internal .di identifikasikan lebih banyak menyadarkan harapannya pada diri sendiri dan diidenfikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian di banding hanya situasi yang menguntungkan. Kedua tipe locus of control terdapat setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinum dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal. Disamping itu locus of control tidak bersifat statis tapi juga dinamis (berubah). Individu yang berorientasi locus of control eksternal dan sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya .Berdaskan buku yang di tulis Halpert & Hill (2011), setidaknya telah dihasilkan 28 model pengukuran locus of control berikut validitas dan reliabilitasnya.
Selain Rotter dan kawan-kawan,pada tahun 1972 Levenson mengajukan hasil riset dengan modifikasi model dua faktor internal-eksternal locus of control Rotter, menjadi locus of control dengan tiga faktor, yaitu faktor internal, faktor powerfull othres dan faktor chance. Skala Levenson dikenal dengan nama IPC-locus of control. Instrumen tersebut terdiri atas 39 pertanyaan (statemen) skala 6. Skala Levenson bertujuan untuk mengungkapkan kecenderungan pusat kendali individu yang dikenal juga sebagai kecenderungan arah atribusi. Faktor internal (I) diidentifikasikan sebagai keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama oleh kemampuan dirinya sendiri. Faktor powerful others (P) diidentifikasikan sebagai keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya di tentukan terutama oleh orang-orang lain yang lebih berkuasa. Sedangkan faktor chance (C) diidentifikasikan sebagai keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama oleh nasib ,peluang dan keberuntungan semata.
Jika diperbandingkan, sebetulnya faktor I skala IPC–locus of control Levenson merupakan pusat kendali internal yang sepadan dengan skala Rotter, sedangkan faktor P&C skala IPC–locus of control. Levenson pada prinsipnya merupakan pusat kendali internal yang sepadan dengan skala Rotter . Pertanyaanya  ialah, instrumen manakah yang cocok, valid dan reliabel digunakan untuk mengukur locus of control siswa SD di Indoesia?

METODE PENELITIAN

Instrumen locus of control ini pada dasarnya merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan metode survei. Guna menjamin reabilitas penelitian, maka responden (sampel) penelitian dipilih secara random bertahap (multistage random sampling ). Di mulai dari pembagian daerah kecamatan di Kabupaten Nganjuk menjadi dua kelompok, yakni kecamatan dalam lingkungan perkotaan dan perdesaan, kemudian di random dua kecamatan terpilih. Dilanjutkan dengan random dua desa di masing-masing kecamatan. Pada empat terpilih, rendomisasi di lanjutkan  dengan penentuan SD Negri sebagai lokasi penelitian. Siswa kelas V di SD Negeri terpilih menjadi responden penelitian,Responden penelitian dari SD Negeri A,B,C dan D sebanyak 114 siswa,terdiri 64 orang siswa laki-laki,dan 50 orang siswa perempuan .
Pengumpulan data tahap 1 menggunakan instrumen skala locus of control dari Rotter yang terdiri atas 29 item; sedangkan pengumpulan data tahap 2 menggunakan instrumen skala IPClocus of control. Levenson sebanyak 39 item, Pengumpulan data tahap 1 dan 2 berselang 3 minggu. Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2015-2016. Responds terhadap instrumen penelitian merupakan respons kontinum yang bergerak dari sangat tidak sesuai (STS), tidak sesuai (TS), agak tidak sesuai (ATS), agak sesuai (AS), sesuai(S), hingga sangat sesuai (SS), hingga kontinum skala bergerak dari angka 1-6 .
Uji validitas dan reabilitas konstruk instrumen locus of control tahap pertama didasarkan pada metude Cronbach`s Alpha dengan bantuan SPSS release 20.0. Berdasarkan metode Cronbach`s Alpha, ada dua ketentuan pokok yang dapat dijadikan patokan guna menentukan suatu item instrumen valid dan reliabel, yaitu :(1) signifikansi koefisien korelasi pearson yakni item-total correlation yang harus >0,40. Jika korelasi item dengan item totalnya kurang dari itu, maka item harus di keluarkan dari analisis. (2) koefisien Cronbach`s Alpha (KCA) dan Standardized Item Alpha (SIA) yang merupakan rerata inter-item correlation dimana item memiliki varian yang sama dengan ketentuan suatu instrumen dikatakan valid dan reliabel apabila  KCA  dan koefisien SIA>0,60 untuk riset eksploratoris dan >0,70 untuk reset konfirmatoris ( Ghozali & Fuad )
Data yang di analisis merupakan data kontinyu hasil pengukuran locus of control  yang terdiri atas 29 butir item dan 39 butir item. Satu instrumen yang 29 butir item merupakan faktor laten locus of control yang secara teoritis merupakan refleksi dari dua indikator utama, yaitu internal dan eksternal; sedangkan instrumen yang  39 butir secara teoritis merupakan refleksi dari tiga indikator utama, yaitu internal (I), powerfull others (P), dan chance (C).
Analisis data tahap kedua adalah ujivaliditas konstruk dengan analisis factor eksploratoris (exploratory factor analysis) dengan bantuan SPSS release 20.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian

Hasil penelitian yang ditampilkan dalam artikel ini hanyalah sebagian  yang di pandang penting bagi pengambilan keputusan dan atau pengujian hepotesis  terkait tujuan penelitian. Hasil analisis validitas dan reabilitas instrumen  skala locus of control dari Rotter yang terdiri atas 29 item dengan metode Cronchbach`s Alpha dapat di lihat pada tabel 1, Sedangkan hasil analisis validitas dan reabilitas instrumen skala IPC-locus of control Levenson yang terdiri atas 39 item dengan metode Cronbach1s Alpha dapat dilihat pada Tabel 2


Tabel 1.Reabilitas Instrumen Rotter

Reability Statistic


Cronbach`s Alpha

N of Items
                                ,064
  ,29


Tabel 2 .Reabilitas Instrumen Levenson

KMO and Bartlett`s Test


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of sampling Adequacy

                                                                         Approx.Chi-Square

Bartlett’s Test of Sphericity                             df

                                                                         Sig
                 ,771
            199,913
                     55
                  ,000


Tabel 3.Hasil Putaran ke-4

Analisis Faktor Instrumen Levenson

Rotated Compenent Matrix

Component
1
2
3
X1
X3
X7
X14
X15
X16
X18
X19
X24
X35
X36
,710
,510
,260
,312
,400
,396
,736
-,132
,612
,046
,129
-,125
,043
,658
,512
,047
,295
,198
,785
,302
,003
,396
,278
,176
,219
,173
,282
,539
-,193
-,070
,077
,868
,496
Extraction Method Principal Comoenent Analysis
Rotation Method Varimax with Kaiser
Normalization        
Pembahasan
Berdasarkan tabel 1, instrumen locus of control dari Rotter tidak valid dan tidak reliabel. Hasil tersebut berimplikasi bahwa analisis butir maupun analisis fakta eksploratoris sebaai kelanjutan analisis butir tidak bisa di lakukan oleh karena koefisien Cronbach’s Alpha (KCA-SIA) yang di peroleh = 0,06 < 0,60. Hasil ini sebetulnya tidak mengagetkan karena beberapa hal. Pertama, pada umumnya skala locus of control dari Rotter di gunakan untuk mengukur kelompok usia dewasa. Kedua, perbedaan kultur dan bahasa merupakan faktor yang seharusnya di pertimbangkan. Ketiga, barangkali karena pengukuran hanya dilakukan sekali, sehingga efek ‘’ pengalaman ” mengisi kuesioner tidak terdampak pada pemahaman yang integral terhadap pernyataan yang di maksut dalam instrumen.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat di simpulkan bahwa skala locus of control dari Rotter tidak cocok di gunakan untuk mengukur locus of control siswa SD. Barangkali akan berbeda hasilnya jika skala locus of control dari Rotter di gunakan untuk mengukur locus of control siswa SMP dan atau SMA.
Berdasarkan tabel 2, instrumen IPC-locus of control Levenson dapat di katakan valid dan reliabe karena koefisie Cronbach’s Alpha (KCA-SIA) yang di peroleh = 0,77>0,60. Artinya, analisis butir maupun analisis faktor eksploratoris sebagai kelanjutan analisis butir bisa di lakukan. Hasil analisis butir tabel 3 setelah melalui empat kali rotasi,menunjukkan bahwa butir yang valid dan reliabel terdiri atas 11 item yaitu, item 1,3,7,14,15,16,18,19,24,35, dan 36. Item no 1,3,15,18 dan 24 mewakili faktor intenal (I) ; Item no 7,14 dan 19 mewakili faktor powerful other (P) sedangkan item no 16,35 dan 36 mewakili faktor chance (C)
Koefisien reabilitas tersebut sejalan dengan reabilitas yang di temukan oleh Agustomo (1983) yang memperoleh reabilitas rxx1 = 0,750; Hendi  (1895) rxx1= 0,751 ; dan Haryanto (1986 ) Yamg memperoleh raebilitas rxx1 =0,749(Aswar , 2013 ).
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat di simpulkan bahwa IPC–locus of control Levenson cocok digunakan mengukur locus of control siswa SD .Akan tetapi dari,39 item, hanya 11 yang valid dan raliabel untuk digunakan mengukur locus of control siswa SD. Meskipun hanya 11 item, sangat jelas indikasinya bahwa instrumen IPC-locus of control Levenson benar-benar mewakili 3 faktor yang menjadi indikator locus of control.
Melalui sekala IPC-locus of control Levenson, siswa SD dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 1 adalah mereka yang meyakini bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama oleh kemampuan dirinya sendiri; kelompok 2 adalah mereka yang meyakini bahwa kejadian-kejadian dalam huidupnya ditentukan terutama oleh orang-orang lain yang lebih berkuasa; dan kelompok 3 adalah mereka yang meyakini bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama oleh nasib, peluang, dan keberuntungan semata.
Berbasis pemilahan kepribadian tersebut, maka guru akan lebih mudah untuk membangun dan memberdayakan motivasi belajar siswa, baik secara individual maupun berkelompok, dari pada harus membangun dan memberdayakan motivasi belajar siswa secara kolektif. Sangat mungkin terjadi bangunan dan pemberdayaan motivasi belajar akan jauh lebih efektif apabila didasarkan atas kepribadian siswa atau berdasarkan locus of control siswa. Hal ini sejalan dengan teori atribusi atau teori persepsi penyebab yang mendasari penelitian ini.

SIMPULAN DAN SARAN.

Sesuai dengan hasil analisis atau instrumentasi dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sekala IPC-locus of control Levenson lebih sesuai dan lebih cocok dibandingkan dengan sekala locus of control dari Rotter jika digunakan untuk mengukur locus of control siswa SD. Oleh karena itu, sebelum guru membangun dan memberdayakan motivasi belajar siswa SD, hendaknya diketahui dahulu kepribadian masing-masing siswa SD berdasarkan ukuran locus of controlnya. Ketika mengukur locus of control siswa SD, disarankan agar guru menggunakan skala IPC-locus of control Levenson.





DAFTAR RUJUKAN

Ames, C., & Archer,J.  1988. Achievement Goals in the Clas room: Student’ Learning Strategies and Motivation Processes. Jurnal of Educational Psycbology. 80 (3): 260-267.

Azwar, S. 2013. Penyusunan Skala Psikologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandura, A. 1997. Self-Efficacy: The Exercice of control. New York: Freeman.

Corsini, A., & Marsella, A.J. 1983. Personality Theories: Research and Assessment. USA: University of Hawai at Manoa, Peacock Published, Inc.

Emmanuel, A-O., Adom, E.A.,Josephine, B.,&Solomon, F.K.2014. Archievement Motivation,Academic Self-Concept And Academic Achievment Among High School Students. European Journal of research and reflection in Educational Sciences.2(2): 24-37.

Ghozali,A.& Fuad.2008. Structural Equation Modeling :Teori, konsep, dan Aplikasi dengan progam LISREL 8.80. Semarang :Ba dan penerbit Universitas Diponegoro.

Graham ,S.& Wiliams,C. 2009 An. Attributionial Approach to Motivation in school .Dalam K.R. Wentzel &A. Wigfield (Eds.).Handbook of Motivation of School (hlm.11-33).New York: Roudledge.

Halpert, R.,& Hill, R. 2011. 28 Measure of Locus of Control.Beach Haven, NJ: Will To Power Press.
Heider, F. 1958. The Psychology of interpersonal Relation.New York: Wiley.

Jung, J.1958.Understanding Human Motivation:Acognitive approach. New York: Mc Millan.

Kreitner & Kinicki .2005. Perilaku Organisasi Buku, I. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Lasagabaster, D. 2011. English Achivement in CLIL and EFL settings. Innovation in Language Learning and Teaching .5 (1) :3-18.

Moore, L.L.,Grabsch, D.K,& Rotter, C..2010. Using Achievement Motivation Theory to Explain Student Participation in a Residential Leadership  Learning Community. Journal of Leadership Education .9 (2) :22-34

Phares, E.J 1957. Expectancy Change in Skill and Chance Situations. Journal of Abnormal and Social Phycology .54:457-477

Phares, E.J. 1976. Locus of control in personiality. Morrystowen,NJ:General Learning Press

Printich, P.R, 2000. An Achievement Goal Theory Prespective on Issues in Motivation Terminologi, Theory, and Research, Contenporary  Educational Psychologi .25:92-104

Rotter, JB.1966. Generalized Expectancies for internal versus External Control of Rainforcement. Psychological  Monograps 80 (1):1-28

Schunk,D.H & Zimmerman, B.J, 2006. Competence and control Beliefs ; Distinguishing  the means and Ends. Dalam P.A. Alexander & P.H .Winne (Eds). Handbook of educational Psycology. (hlm.349-367) Marwah, NJ: Erlbaum

Schunk, D.H. 2012. Learning theories: An Edicational Perspective 6th Edition. Boston, MA: Pearson Education ,Inc

Schunk, D.H.et.al.,2008. Attributionbas Motivators of Self Regulated Learning. New York: Taylor &Francois.

Schunk, D.H et.al., Pintrich, P.P & Meece, J.L. 2012. Motivation in Education: Theory, Research, and Applications. Upper saddle River: Pearson education, inc.

Strobel, K.2010. Issue Brief: Practices that Promote Middle School Students’ Motivation and Acrhievement, Jhon W. Gardner Centre.

Turner, E.A., Chandler, M., & Heffer, R.W. 2009. Then Influence of Parenting Styles, Achievement Motivation, and Self-Efficacy on Academic Performance in College Students. Journal of College Stundents Development. 50(3): 337-346.

Weiner, B. 2004. An Perception of Achievement Motivation and Emotion. New York: Springer-Verlag.

*Dr. M.KHUSNUL MA’ARIF, M.Pd,  Ketua APSI dan Koordinator Pengawas Kab Nganjuk
Baca Selanjutnya- INSTRUMENTASI ‘’LOCUS OF CONTROL’’SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR