APSI Nganjuk

My photo
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Sebagai Media Informasi Pendidikan & Pembelajaran (Dari Kita Untuk Semua) Kontak: 082143737397 atau 085735336338

Friday, October 26, 2012

Idul Adha

 

image

Idul Adha identik dengan Idul Qurban, tapi qurban yang dimaksudkan kali ini bukan sekedar menyembelih hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima. Qurban yang dimaksudkan adalah melaksanakan pengurbanan hakiki, yakni mengurbankan sebagian yang kita miliki dan cintai, baik harta benda maupun penghormatan untuk dibagikan kepada orang yang lebih membutuhkan, hal itu dilakukan semata-mata untuk melaksanakan “ta’abbudan lillah”, semata-mata mengabdi kepada Allah dalam rangka memperingati dan mengenang pengurbanan besar yang dilakukan Nabiyullah Ibrahim as beserta keluarganya. Pengurbanan mana yang tidak hanya bisa dijadikan pelajaran dalam hidup saja, namun juga mampu meningkatkan taraf kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Pengurbanan yang mampu mengangkat hasrat kemanusian, meningkatkan kapasitas hidup dan kemampuan pribadi, menjadi orang mulia baik dihadapan manusia maupun dihadapan Rabbul Izzah, demikian itu yang pernah dilakukan dan didapatkan Nabiyullah Ibrahim as beserta keluarganya.

 

Peristiwa pengurbanan besar tersebut dimulai ketika Nabiyullah Ibrahim as dengan tulus ihlas dan ridho melaksanakan perintah Allah yang tidak logis, yakni menempatkan sebagian anggota keluarga tercinta di tanah Mekkah Al-Mukarromah yang saat itu belum berpenghuni, tanah tandus tidak berkehidupan, tidak ada air tidak ada makanan, supaya nantinya di tanah itu manusia mendirikan sholat dan beribadah kepada Allah SWT. Siti Hajar dan Isma’il, salah satu Istri dari dua istri tercinta dan satu-satunya putra yang masih dalam susuan, mereka berdua harus ditinggalkan begitu saja oleh Nabiyullah Ibrahim as di tanah yang terpencil dan terasing tersebut, berdua harus mempertahankan hidup dalam sendirian dengan bekal hidup yang pas-pasan.

 

Peristiwa tersebut diabadikan Allah SWT dengan firman-Nya dalam bentuk kalimat doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim AS di dalam kitab suci al-Qur’an al-Karim:

 

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

 

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tumbuhan di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.(QS.Ibrahim/37)

Pengorbanan yang dimaksud secara kongkrit tergambar dalam bentuk keihlasan dalam memperjuangkan hidup dan menjalani penderitaan yang amat sangat dalam rangka mempertahankan kehidupan yang dilakukan oleh seorang ibu bersama anaknya yang masih dalam susuhan, berdua dalam kesendirian ditengah luasnya padang pasir yang tidak berpenghuni. Meskipun Siti Hajar yakin Allah tidak akan menelantarkan hidupnya, namun melaksanakan keyakinan tersebut ternyata tidak segampang seperti ketika diucapkan. Sebagaimana ketika dia berkata kepada suaminya disaat detik-detik suaminya akan meninggalkan dirinya berdua : “Wahai suamiku, apakah engkau diperintah Allah dalam hal ini?”. Dalam pertanyaan yang ketiga kalinya baru Nabi Ibrahim as menjawab meski tanpa menoleh, karena takut hatinya terpengaruh sehingga berakibat buruk, berubah pendirian dan tidak mampu melaksanakan perintah tidak logis itu: “Benar wahai Istriku, aku diperintah Allah untuk melakukan ini”. Siti Hajar kemudian berkata: “Wahai suamiku, jika ini memang perintah Allah, maka lakukan saja, aku yakin Allah tidak akan menelantarkan kami berdua disini”.

 

Melaksanakan keyakinan hati ternyata tidak semudah seperti saat mengucapkannya di bibir. Siti Hajar berdua ternyata harus menghadapi penderitaan yang amat sangat, sampai-sampai nyawanya berdua hampir direnggut kematian. Ketika bekal makanan yang ditinggalkan suaminya sudah habis, padahal air tidak mungkin bisa didapat ditempat yang kering itu, sedangkan anak yang digendongan menangis tiada henti minta disusui, padahal air susu sudah tidak keluar lagi karena perut sudah lama tidak terisi, maka sang Ibu mencoba mencari pertolongan. Dengan sisa tenaga yang ada Siti Hajar berlari-lari kecil antara dua bukit yang ada di sekitar tempat itu, bukit Shofa dan Marwa. Dari atas dua bukit tersebut dia melihat kesana-kemari, berharap dapat menemukan manusia yang bisa memberikan pertolongan kepadanya, namun sampai 7X pulang pergi, hasilnya tetap nihil juga, Sang Ibu yang sedang kelelahan dan lemas karena kelaparan itu tidak juga menjumpai seorangpun yang bisa memberikan pertolonggan kepadanya. Peristiwa ini diabadikan Allah dengan firman-Nya:

 

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

 

Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.(QS.al-Baqoroh/158)

Pengurbanan berikutnya merupakan pengurbanan yang lebih dahsyat lagi, bahkan sama sekali tidak masuk di akal sehat. Betapa tidak, seorang ayah atas isyarat mimpi harus menyembelih satu-satunya putra tercinta. Perintah Allah tersebut berawal dari bisikan yang mengusik tidur Abal Anbiya’ Ibrahim As. Allah memberikan wahyu lewat Ru’yah Shodiqoh kepada nabi-Nya agar menyembelih putra semata wayangnya yang bernama Ismail. Ketika Ibrahim terjaga dari tidurnya, ia mengira apa yang mengganggu tidurnya hanyalah bisikan setan sebab sangat tidak mungkin Allah Swt yang Maha penyayang dan pengasih memerintahkannya untuk menyembelih putra yang telah lama dinanti-nantikannya tersebut. Namun demikian Nabi Ibrahim As, mencoba merespon perintah Allah tersebut dengan akalnya, namun kemudian dia menampik perintah tersebut lantaran tidak bisa diterima logika. Akan tetapi ketika Allah kembali mengusiknya dengan mimpi yang sama sampai tiga kali. Nabi Ibrahim Khalilullah ini mencampakkan akalnya dan menerima perintah Allah tersebut dengan hati dan imannya secara Taabbudan Lillah, yakni sebagai wujud ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Swt.

Peristiwa tersebut diabadikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya dalam bentuk dialog antara ayah dan anak:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(QS.Ash-Shofat/102)

Subhanallah !! Dihadapan kematian dengan pedang di tangan ayahnya sendiri seorang anak dengan tulus berkata : “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Dihadapan anak tercinta yang sedang berbaring lemas dipangkuannya dan menyiapkan lehernya untuk digorok oleh tangannya sendiri, seorang bapak mampu melakukan hal itu semata-mata karena melaksanakan perintah Allah yang hanya diterima melalui mimpi. Ya Allah !!! siapakah yang sanggup melakuan pekerjaan yang tidak logis itu selain para kekasih-Mu, selain orang-orang yang matahatinya cemerlang karena telah diterangi nur ma’rifat kepada-Mu sehingga mampu menerima perintah dengan cara tidak logis dan sekaligus melaksanakannya meski harus melakukan pekerjaan yang tidak logis pula, maka pantas mereka berdua kemudian mendapatkan penghormatan abadi dan ridho-Mu, bahkan menjadi lambang pengorbanan dan perjuangan hidup sepanjang zaman.

 

Sehingga dikala dengan sabar dan penuh keikhlasan Nabi Ibrahim As menjalankan perintah Allah tersebut, Allah bangga kepadanya. Sedetik sebelum mata pedang yang sudah diasah tajam itu menyentuh leher anak yang sudah terpejam matanya, dengan kuasa-Nya Allah Swt mengganti tubuh anak tersebut dengan seekor kambing kibas dari surga. Sebuah indikasi dan pelajaran yang amat berharga bahwa apabila orang bisa bersabar dalam menghadapi ujian dan musibah dan ridho serta ikhlas dalam menjalaninya, meski nyawa taruhannya, maka bukan saja akan mendapat pahala, namun juga Allah akan memberikan ganti yang lebih baik dan sempurna. Bahkan tidak hanya itu saja, pengurbanan besar yang dilakukan dua manusia mulia tersebut ternyata tidak sia sia, tidak hilang begitu saja ditelan zaman, namun terbukti telah menjadi pondasi yang kokoh kuat atas bangunan kota Mekkah al-Mukarromah dan keberkahan Allah yang dicurahkan di atasnya sampai saat sekarang.

Disamping hal penting tersebut, Ibadah qurban juga mengandung pesan kepada kita agar memiliki jiwa sosial dan peka terhadap penderitaan sesama serta pembangunan mental spiritual yang tangguh. Ungkapan rasa syukur atas segala anugerah yang diwujudkan dengan menasarufkan sebagian harta yang kita miliki dengan membeli dan menyembelih hewan qurban serta pendistribusian dagingnya kepada kalangan fuqoro wal masaakin agar di hari raya ini mereka dapat menikmati kegembiraan yang sama, disamping merupakan simbol agar kita mau berbagi kepada sesama serta ikut meringankan beban hidup orang lain yang bisa membangun kekuatan persaudaraan antara sesama umat, juga menguatkan jiwa kita secara pripadi dalam menghadapi tantangan dan kompetisi hidup yang rasanya seakan tidak berkesudahan, terlebih apabila hal yang sangat positif tersebut tidak hanya bisa dilakukan pada hari-hari tertentu saja, seperti hari Idul Adha sekarang ini, tetapi juga setiap saat dan kesempatan yang ada, saat kita diberi kemampuan dan kelebihan oleh Allah Swt.

Ujian hidup yang dicanangkan dalam peristiwa sejarah tersebut dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya ini benar-benar merupakan suatu ujian yang nyata”.(QS.ash Shafaat/108). Maksudnya, keberhasilan hidup yang didambakan oleh setiap jiwa yang merdeka, kebahagiaan yang diharapkan oleh setiap manusia yang hatinya sehat, ternyata tidak datang dengan sendirinya turun dari langit, melainkan harus ditempuh dan diperjuangkan melalui porses ujian yang tidak ringan, demikianlah pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa sejarah kemanusian ini, dan itu merupakan sunnatullah yang tidak ada berubahan untuk selamanya, baik berlaku bagi orang-orang terdahulu maupun kemudian, bahkan berlaku bagi kita semua. Ujian hidup tersebut juga dinyatakan Allah dengan firman-Nya:

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

 

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqoroh/155-157)

No comments:

Post a Comment