INSTRUMENTASI
‘’LOCUS OF CONTROL’’SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR*
AS good as, a person’ Locus of Control is
where that person Place
the primary causation of events in his or her life. Locus Of Control theory evolved from
Bandura’s Social Learning Theory,
which poists that observed and imitated behaviors are Either reinforced through reward or
extinguished through punishment.
According to rotter, Locus of Control falls on a continuum, with those who believe that
their life is largelycontrolled by outside forces (externals) falling on one
end ofthe spectrum while those who belive that by and large they control they own lives (internals)
falling on the other end. Nevertheless,
according to levenson, Locus
of Control falls on A
continuum internal (I), powerful others (P),and chance (C)factors. The aims of
this research that to examined feasibility musing scale Locus of Control both by
Rotter and Levenson tomeasure Locus of Control of elemntary school Students. Theresult show that, scale
IPC-Locus of Control Levenson validand reliabel than scale of Locus of Control
Rotter if usingmeasure of elementary school students’ Locus of Control.
Keywords : Locus of control,
instrumentation, motivation, atributionTheory.
PENDAHULUAN
Tema pokok supervisi pengajaran yang
sering mengemuka adalah bagaimana para guru secara terus menerus
(kontinyu) membangkitkan dan memperdayakan motivasi siswa. Motivasi
yang di defisinikan sebagai proses dimana aktivitas-aktivitas yang berorientasi
target di buat terjadi dan di pertahankan kelangsungannya (Schunk,2012), harus
terus menerus di pupuk.
Argumen utamanya ialah karena pilihan
atas tugas-tugas,
upaya, baik fisik dan mental, ketekunan
dan prestasi merupakan tindakan–tindakan yang dilandasi motivasi. Secara
teoritis tentu banyak ragam motivasi seperti motivasi belajar, motivasi
berprestasi, motivasi perilaku, motivasi sosial, dan lain-lain. Pada
siswa sekolah dasar,
motivasi paling mendasar yang relevan
diperhatikan adalah motivasi belajar
Studi tentang motivasi sudah sering
ditemukan oleh para ahli terutama dalam hubungannya dengan belajar seseorang
dan peningkatan prestasinya dalam berbagai bidang. Teori-teori yang
mendasarinya juga terangkum dengan baik dalam leteratur psikologi , mulai
dari teori dengan prespektif lama seperti dorongan, pengkondisian; maupun
dengan prespektif baru seperti teori konsistensi kognitif, teori humanistik, hingga
teori lain seperti motivasi berprestasi, teori atribusi, dan teori kognitif
sosial. Teori motivasi dalam kaitannya dengan pendidikan dan pembelajaran manusia
secara lengkap telah dirangkum dengan baik oleh Schunk, Pintrich, dan Meece
(2012), juga oleh Pintrich
2000.
Bukti empirik bahwa motivasi berprestasi,
selain konsep diri akademik mempunyai korelasi yang signifikan dengan prestasi
akademik para siswa disekolah menengah, ditemukakan misalnya oleh Emmanuel,
Et.al. (2014), dan juga oleh Strobel (2010), yang memastikan bahwa alur
konsekuensi dimulai dari praktik didalam kelas yang berpengaruh terhadap
motivasi belajar dan kemudian mempengaruhi prestasi belajar. Sedangkan
pengaruh gaya pengasuhan orang tua, motivasi berprestasi dan efikasi diri
terhadap kinerja dan akademik dibuktikan oleh Turner, Chandler, dan Heffer
(2009). Ames dan Archer (1998), jauh-jauh hari juga membuktikan bahwa setiap
pencapaian tujuan belajar didalam kelas tidak dapat dilepaskan dari strategi
belajar dan proses motivasi yang di optimalkan. Dibidang penguasaan
bahasa Inggris,
Lasaga baster(2011), membuktikan
bahwa meskipun motivasi merupakan konstruk psikologis yang kompleks, pada
kenyataannya motivasi berpengaruh terhadap prestasi atau penguasaan bahasa
inggris sesorang,
Sementara Moore, Grabsch, &
Rotter(2010), menggunakan teori motivasi berprestasi sebagai penjelas
partisipasi siswa dalam komunitas belajar kepemimpinan daerah.
Meskipun demikian, masih banyak
pertanyaan yang mengemukaan dalam supervisi klinis maupun supervisi pengajaran
yang di lontarkan para guru perihal bagaimana
cara membangkitkan dan memperdayakan motivasi. Apakah setiap orang
memiliki bentuk motivasi yang sama? Apakah efektif jika pembangkitan dan
pemberdayaan motivasi di lakukan secara klasikal tanpa mencermati kepribadian
masing-masing siswa?
Pertanyaan para guru mendorong penulis
untuk lebih jauh menelisik hal itu. Hasilnya, adalah ternyata
motivasi tidak hadir begitu saja pada diri seseorang atau sebagai variabel yang
berdiri sendiri,
melainkan di pengaruhi oleh baerbagai
faktor penyebab atau yang dalam teori atribusi disebut sebagai persepsi
penyebab (causal perception). Teori
atribusi di terapkan secara luas pada penelitian motivasi (Graham & Wiliams
; Schunk et.al., 2008). Atribusi adalah penyebab hasil. Teori atribusi
menjelaskan bagaimana orang-orang memandang penyebab perilaku mereka dan orang
lain (Weiner ,2004 ).
Teori ini mengasumsikan bahwa
orang-orang condong untuk mencari informasi untuk membentuk atribusi. Proses
memahami penyebab diperkirakan diatur oleh aturan,
dan banyak penelitian atribusi membahas
bagaimana aturan di gunakan. Dari sudut pandang motivasi, atribusi menjadi
penting karena hal ini mempengaruhi keyakinan, emosi, dan
perilaku.
Atas dasar argumentasi teoritis
tersebut, penulis selaku pengawas sekolah (school superintenden) memandang penting untuk melakukan studi
pendahuluan (preliminary study) dengan
fokus pada locus of control sebagai
salah satu variabel penyebab motivasi .Studi pendahuluan ini diletakkan pada
konteks eksperimen kuasi tentang pengaruh epitome, rangkuman dan locus of
control/terhadap hasil belajar bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (social studies) para siswa Kelas V SD
diKabupaten Nganjuk,
Jawa Timur. Tujuan utama penelitian
pendahuluan dengan fokus instrumentasi locus
of control di kalangan siswa sekolah dapat diukur, dengan mengajukan
pertanyaan, instrumen manakah yang valid dan reliabel inilah yang dapat
digunakan untuk mengukur locus of control
siswa SD? Hasil instrumen yang valid dan reliabel inilah yang dapat digunakan
oleh para guru sebagai dasar bagi pembangkitan dan pemberdayaan motivasi
belajar siswa. Berdasarkan teori persepsi penyebab, locus of control akan bisa
memilih kepribadian siswa sebagai basis pembangkitan dan pemberdayaan motivasi
belajar siswa.
Didalam teori persepsi penyebab, persepsi
penyebab mempengaruhi motivasi melalui pengklasifikasian persepsi penyebab menurut
dimensi-dimensi yang didasarkan pada sebuah analisis tentang struktur
kausalnya. Dimensi-dimensi ini yaitu, locus, stabilitas dan kemampuan
kontrol-berimplikasi pada murid perihal keyakinan pengharapan, emosi, dan
perilaku termotivasi. Analisis struktur
persepsi penyebab telah dijalankan dengan dua cara umum, yakni melalui analisis
logis dan analisis empiris (Weiner,2004). Analisis logis menyangkut peneliti
menyelidiki persepsi penyebab yang berbeda-beda dan kemudian menenmpatkannya
dalam kategori yang berbed-beda atau di sepanjang dimensi-dimensi (misalnya, penyebab
internal versus eksternal) menurut pertimbangan teoritis. Belakangan, muncul
analisis empiris dalam penelitian tentang persepsi penyebab, yang menyangkut
penggunaan metode statistik (misalnya,
analisis faktor, pengukuran skala multidimensi) untuk menentukan cara
individu-individu melakukan skala penilaian terhadap berbagai persepsi penyebab
mengelompok bersama-sama. Melalui analisi logis, atau apakah penyebab sifatnya
internal atau eksternal bagi individu; (b) dimensi stabilitas, atau seberapa
stabilnya penyebab dari waktu ke waktu; dan (c) dimensi kemampuan kontrol, atau
seberapa dapat dikontrolnya penyebab. Meskipun ada ketidak sepakatan tertentu
mengenai sifat dasar yang pasti dari ketiga dimensi ini, ada kesepakatan bahwa
masing-masing dimensi ini berimplikasi pada motivasi dan efek individu Schunk,
Pintrick, & Meece (2012).
Dimensi lokus yang menjadi fokus
penelitian ini berkenan dengan apakah sebuah penyebab dipersepsikan sebagai inernal
atau eksternal bagi individu. Sebagai contoh, kemampuan dan usaha, keduanya diklasifikasikan sebagai
penyebab internal, sedangkan kesulitan tugas dan keberuntungan, keduanya
diklasifikasikan sebagai penyebab eksternal. Perbedaan dasar ini, antara penyebab
internal versus penyebab eksternal, sesuai dengan pertanyaan pokok di dalam
teori persepsi penyebab perihal pengaruh relatif faktor personal dan faktor
lingkungan pada perilaku individu (Heider, 1958).
Secara historis, aplikasi paling umum
dari dimensi ini sebagai konstruk psikologi adalah hasil penelitian Rotter (1996), tentang locus of control. Seperti yang disampaikan sebelumnya,
individu-individu diklasifikasikan sebagai internal ketika mereka meyakini
bahwa konsekuensi disebabkan perilaku mereka sendiri, sedangkan exsternal
adalah individu-individu yang meyakini bahwa konsekuensi berada diluar kontrol
mereka dan dikarenakan faktor-faktor sperti keberuntungan, takdir, dan individu
lain. Murid yang memiliki kontrol internal akan meyakini bahwa nilai-nilai
akademisnya bergantungan pada kemampuan, keterampilan, atau usahanya sendiri,
sedangkan murid kontrol eksternal akan meyakini bahwa nilai-nilai akademisnya
merupakan fungsi darikeberuntungan,gurunya, atau faktor eksternal lainnya. Guru
yang memiliki kontrol internal akan meyakini bahwa pembelajaran murid–muridnya
dapat dikontrol oleh dirinya hingga titik tertentu, serta bahwa keberuntungan,
peluang, atau faktor eksternal lainnya seperti lingkungan orangtua dan keluarga
merupakan berbagai determinan utama pembelajaran siswa.
Keyakinan utama dalam sebagian besar
teori motivasi ialah bahwa orang-orang mencoba mengontrol aspek-aspek penting
dalam kehidupan mereka (Schunk & Zimmerman, 2006). Keyakinan ini mencerminkan
pemikiran mengenai locus of control, atau sebuah harapan yang disamaratakan
terkait apakah respons mempengaruhi hasil yang diperoleh seperti keberhasilan dan hadiah (Rotter,
1966). Orang-orang meyakini bahwa hasil terjadi secara independen terkait
dengan cara mereka bersikap (locus of
control) atau hasil tersebut terjadi secara tidak sengaja dalam perilaku
mereka.
Peneliti lainnya menyatakan bahwa locus of control bentuknya beragam
tergantung pada situasi (Phares,1976). Sudah menjadi hal yang biasa menemukan
siswa yang secara umum percaya bahwa mereka hanya mampu sedikit mengontrol
keberhasilan dan kegagalan akademik tetapi juga meyakini mereka bisa melakukan kontrol
yang besar pada kelas tertentu karena guru dan teman bersifat membantu dan
karena meraka menyukai kontennya. Locus
of control merupakan hal penting pencapainnya karena keyakinan dan harapan
dipotensikan mempengaruhi perilakunya. Siswa yang percaya mereka
memiliki kontrol atas keberhasilan dan kegagalan harus lebih gigih dalam
mengerjakan tugas akademik, mengembangkan usaha, dan ulet dibandingkan sosial
yang meyakini perilaku mereka hanya berpengaruh kecil pada hasil. Dengan
demikian, usaha dan keuletan meningkatkan pencapain (Phares,1976).
Terlepas dari apakah locus of control merupakan pemberi
kecenderungan umum atau khusus secara situasi, ia mencerminkan harapan hasil
(keyakinan mengenai hasil yang akan didapat karena satu tindakan). Harapan
hasil merupakan penentuan perilaku berprestasi yang penting, tetapi itu saja,
menurut Bandura (1997), tindaklah cukup. Siswa tidak mengerjakan
tugas karena mereka tidak mengharapkan kinerja kompeten untuk mewujudkan hasil
yang diinginkan (harapan pada hasil negatif), seperti yang akan terjadi jika
mereka meyakini bahwa guru tidak menyukai mereka dan tidak akan menghargai
seberapa baikpun mereka bekerja. Harapan pada hasil yang positif tidak menjamin
motivasi yang tinggi. Siswa mungkin percaya bahwa kerja keras akan menghasilkan
nilai yang baik, tetapi mereka tidak akan bekerja keras jika mereka ragu dengan
kemampuan mereka untuk menunjukkan usaha (efikasi diri rendah).
Selain hal-hal pokok ini, efikasi diri
dan harapan hasil biasanya berhubungan (Bandura,1997). Siswa yang meyakini bahwa
mereka mampu bekerja dengan baik (efikasi diri tinggi) mengharapkan reaksi
positif dari guru mereka atas keberhasilan yang ditunjukkan (harapan hasil
positif). Hasil yang gilirannya, mendukung efikasi diri karena hal itu
menyatakan bahwa seseorang mampu untuk berhasil (Schunk dan Pajares, 2005).
Pusat kendali (locus of control ) adalah sifat kepribadian yang pertama kali di
jelaskan oleh Phares (1957), dilanjutkan oleh Rotter (1956), dalam
teorinya tentang pembelajaran sosial. Hal ini mengandung makna bahwa locus of control di kembangkan
berdasarkan teori sosial dari Bandura. Teori ini menunjukkan keyakinan
seseorang tentang seberapa besar derajat kemampuan seseorang mengendalikan
kehidupannya sendiri. Hal ini di ukur berdasarkan suatu kontinum dari internal
menuju eksternal melaui kuesioner yang di buat para ahli di atas dan
rekan-rekanya. Mereka yang pusat kendalinya bersifat internal cenderung
meyakini bahwa mereka sangat bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri, sedangkan bagi
mereka yang pusat kendalinya eksternal cenderung menyatakan bahwa sukses dan
kegagalan mereka diakibatkan oleh orang lain atau oleh kejadian-kejadian yang
tidak dapat di kontrol.
Locus of control adalah sesuatu yang
di yakini individu sebagai pusat yang secara kontinum bergerak dari dalam diri
(internal)
kearah luar dirinya (eksternal) (Schunk,2012). Hasil berbagai penelitian
menunjukan orientasi internal lebih banyak menimbulkan dampak positif. Phares
menyatakan mereka yang berorientasi internal cenderung lebih percaya diri,
berpikir
optimis dalam setiap langkahnya. Scribe menemukan bahwa
individu dengan locus of control internal cenderung
lebih aktif, berusaha keras, berprestasi,
penuh
kekuatan, tidak tergantung dan efektif (schunk, 2012).
Menurut Rotter dan para pendukungnya,
pusat kendali seseorang mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan berbagai
situasi dan mempengaruhi perilaku dalam pola-pola yang bisa di perkirakan. Riset mereka telah
membuktikan secara konsisten bahwa mereka yang pusat kendalinya internal di
bandingkan dengan yang eksternal cenderung melakukan kegiatan-kegiatan yang
mendorong kesehatan,seperti menjaga berat badan, berhenti merokok, memeriksakan
gigi secara teratur, dan berolah raga; mereka cenderung lebih tahap terhadap
pengaruh sosial dan rayuan, dan pada umumnya lebih dapat menyesuaikan diri dan
tidak gampang cemas di bandingkan dengan mereka yang memiliki pusat kendali
eksternal. Ganguan mental seperti scbizopbrenia atau depresi pada umumnya di
kaitkan dengan pusat kendali eksternal.
Kreitner & Kinachi (2005),
mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus
of control internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada
individu yang memiliki locus of control
eksternal menganggap bahwa keberhasilan yg dicapai dikontrol dari keadaan
sekitarnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dimensi locus of control baik internal maupun eksternal dari Rotter
memfokuskan pada strategi pencapaian tujuan tanpa memperhatikan asal tujuan
tersebut. Bagi seseorang yang mempunyai locus
of control internal akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat
diramalkan, dan perilaku individu turut berperan didalamnya. Pada individu yang
mempunyai locus of control eksternal
akan memandang dunia sebagai sesuatu yg tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam
mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran didalamnya
(Kreitner & Kinicki, 2005).
Berdasarkan kajian pustaka dapat
diketengahkan bahwa ada perbedaan karakteristik antara locus of control
internal dengan locus of control eksternal. Locus of control internal biasanya:
suka bekerja keras, memiliki inisiatif yg tinggi selalu berusaha untuk
menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin,
dan selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil. Sedangkan
ciri-ciri locus control eksternal ialah: kurang memiliki inisiatif, mempunyai
harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan, kurang
suka berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luar lah yang mengontrol, dan kurang mencari
informasi untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa individu yang mempunyai locus
of control eksternal diididentifikasikan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan, sementara itu individu
yang mempunyai locus of control internal .di identifikasikan lebih banyak
menyadarkan harapannya pada diri sendiri dan diidenfikasikan juga lebih
menyenangi keahlian-keahlian di banding hanya situasi yang menguntungkan. Kedua tipe locus of
control terdapat setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk
lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Locus of control
merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinum dari internal menuju
eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar
internal atau yang benar-benar eksternal. Disamping itu locus of control tidak bersifat statis tapi juga dinamis (berubah). Individu
yang berorientasi locus of control
eksternal dan sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena situasi dan
kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan
aktifitasnya .Berdaskan buku yang di tulis Halpert & Hill (2011), setidaknya
telah dihasilkan 28 model pengukuran locus
of control berikut validitas dan reliabilitasnya.
Selain Rotter dan kawan-kawan,pada
tahun 1972 Levenson mengajukan hasil riset dengan modifikasi model dua
faktor internal-eksternal locus of control Rotter, menjadi locus of
control dengan tiga faktor,
yaitu faktor internal, faktor
powerfull othres dan faktor chance.
Skala Levenson dikenal dengan nama IPC-locus of control. Instrumen tersebut terdiri atas 39
pertanyaan (statemen) skala 6. Skala Levenson bertujuan untuk
mengungkapkan kecenderungan pusat kendali individu yang dikenal juga sebagai
kecenderungan arah atribusi. Faktor internal (I) diidentifikasikan
sebagai keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan
terutama oleh kemampuan dirinya sendiri. Faktor powerful others (P)
diidentifikasikan sebagai keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam
hidupnya di tentukan terutama oleh orang-orang lain yang lebih berkuasa. Sedangkan
faktor chance
(C) diidentifikasikan sebagai keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam
hidupnya ditentukan terutama oleh nasib ,peluang dan keberuntungan semata.
Jika diperbandingkan, sebetulnya
faktor I skala IPC–locus of
control Levenson merupakan pusat kendali internal yang sepadan dengan skala
Rotter, sedangkan faktor
P&C skala IPC–locus of control. Levenson pada prinsipnya merupakan
pusat kendali internal yang sepadan dengan skala Rotter . Pertanyaanya ialah, instrumen manakah yang cocok, valid
dan reliabel digunakan untuk mengukur locus of control siswa SD di Indoesia?
METODE
PENELITIAN
Instrumen locus of control ini pada
dasarnya merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan metode survei. Guna
menjamin reabilitas penelitian, maka responden (sampel) penelitian dipilih
secara random bertahap (multistage random
sampling ).
Di mulai dari pembagian daerah
kecamatan di Kabupaten Nganjuk menjadi dua kelompok, yakni kecamatan dalam
lingkungan perkotaan dan perdesaan, kemudian di random dua kecamatan
terpilih. Dilanjutkan dengan random dua desa di masing-masing
kecamatan. Pada empat terpilih, rendomisasi di lanjutkan dengan penentuan SD Negri sebagai lokasi
penelitian. Siswa kelas V di SD Negeri terpilih menjadi responden penelitian,Responden
penelitian dari SD Negeri A,B,C dan D sebanyak 114 siswa,terdiri 64 orang siswa
laki-laki,dan 50 orang siswa perempuan .
Pengumpulan data tahap 1 menggunakan
instrumen skala locus of control dari
Rotter yang terdiri atas 29 item; sedangkan pengumpulan data tahap 2
menggunakan instrumen skala IPC –locus of control. Levenson
sebanyak 39 item,
Pengumpulan data tahap 1 dan 2
berselang 3 minggu.
Penelitian dilaksanakan pada semester
genap tahun ajaran 2015-2016.
Responds terhadap instrumen penelitian
merupakan respons kontinum yang bergerak dari sangat tidak sesuai (STS), tidak
sesuai (TS), agak tidak sesuai (ATS), agak sesuai (AS), sesuai(S), hingga
sangat sesuai (SS),
hingga kontinum skala bergerak dari
angka 1-6 .
Uji validitas dan reabilitas konstruk
instrumen locus of control tahap
pertama didasarkan pada metude Cronbach`s Alpha dengan bantuan SPSS release
20.0. Berdasarkan metode Cronbach`s Alpha, ada dua ketentuan
pokok yang dapat dijadikan patokan guna menentukan suatu item instrumen valid
dan reliabel, yaitu :(1) signifikansi koefisien korelasi pearson yakni
item-total correlation yang harus >0,40. Jika korelasi item
dengan item totalnya kurang dari itu, maka item harus di keluarkan dari
analisis. (2) koefisien Cronbach`s Alpha (KCA) dan Standardized Item Alpha
(SIA) yang merupakan rerata inter-item
correlation dimana item memiliki varian yang sama dengan ketentuan suatu
instrumen dikatakan valid dan reliabel apabila
KCA dan koefisien SIA>0,60
untuk riset eksploratoris dan >0,70 untuk reset konfirmatoris ( Ghozali
& Fuad )
Data yang di analisis merupakan data
kontinyu hasil pengukuran locus of
control yang terdiri atas 29 butir
item dan 39 butir item.
Satu instrumen yang 29 butir item
merupakan faktor laten locus of control yang secara teoritis merupakan refleksi
dari dua indikator utama,
yaitu internal dan eksternal; sedangkan
instrumen yang 39 butir secara teoritis
merupakan refleksi dari tiga indikator utama, yaitu internal (I), powerfull
others (P), dan chance (C).
Analisis data tahap kedua adalah ujivaliditas
konstruk dengan analisis factor eksploratoris (exploratory factor analysis) dengan bantuan SPSS release 20.0.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil
penelitian
Hasil penelitian yang ditampilkan dalam
artikel ini hanyalah sebagian yang di
pandang penting bagi pengambilan keputusan dan atau pengujian hepotesis terkait tujuan penelitian. Hasil
analisis validitas dan reabilitas instrumen
skala locus of control dari
Rotter yang terdiri atas 29 item dengan metode Cronchbach`s Alpha dapat di
lihat pada tabel 1,
Sedangkan hasil analisis validitas dan
reabilitas instrumen skala IPC-locus of
control Levenson yang terdiri atas 39 item dengan metode Cronbach1s Alpha
dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel
1.Reabilitas Instrumen Rotter
Reability Statistic
Cronbach`s Alpha
|
N of Items
|
,064
|
,29
|
Tabel 2 .Reabilitas Instrumen
Levenson
KMO and Bartlett`s Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of
sampling Adequacy
Approx.Chi-Square
Bartlett’s Test of
Sphericity
df
Sig
|
,771
199,913
55
,000
|
Tabel
3.Hasil Putaran ke-4
Analisis Faktor Instrumen
Levenson
Rotated Compenent Matrix
|
Component
|
||
1
|
2
|
3
|
|
X1
X3
X7
X14
X15
X16
X18
X19
X24
X35
X36
|
,710
,510
,260
,312
,400
,396
,736
-,132
,612
,046
,129
|
-,125
,043
,658
,512
,047
,295
,198
,785
,302
,003
,396
|
,278
,176
,219
,173
,282
,539
-,193
-,070
,077
,868
,496
|
Extraction
Method Principal Comoenent Analysis
Rotation
Method Varimax with Kaiser
Normalization
Pembahasan
Berdasarkan tabel 1, instrumen locus of
control dari Rotter tidak valid dan tidak reliabel. Hasil tersebut berimplikasi
bahwa analisis butir maupun analisis fakta eksploratoris sebaai kelanjutan
analisis butir tidak bisa di lakukan oleh karena koefisien Cronbach’s Alpha
(KCA-SIA) yang di peroleh = 0,06 < 0,60. Hasil ini sebetulnya tidak
mengagetkan karena beberapa hal. Pertama, pada umumnya skala locus of control dari Rotter di gunakan
untuk mengukur kelompok usia dewasa. Kedua, perbedaan kultur dan bahasa
merupakan faktor yang seharusnya di pertimbangkan. Ketiga, barangkali karena
pengukuran hanya dilakukan sekali, sehingga efek ‘’ pengalaman ” mengisi
kuesioner tidak terdampak pada pemahaman yang integral terhadap pernyataan yang
di maksut dalam instrumen.
Berdasarkan hasil analisis tersebut
dapat di simpulkan bahwa skala locus of
control dari Rotter tidak cocok di gunakan untuk mengukur locus of control
siswa SD. Barangkali akan berbeda hasilnya jika skala locus of control dari Rotter di gunakan untuk mengukur locus of control siswa SMP dan atau SMA.
Berdasarkan tabel 2, instrumen IPC-locus of control Levenson dapat di
katakan valid dan reliabe karena koefisie Cronbach’s Alpha (KCA-SIA) yang di
peroleh = 0,77>0,60. Artinya, analisis butir maupun analisis faktor
eksploratoris sebagai kelanjutan analisis butir bisa di lakukan. Hasil analisis
butir tabel 3 setelah melalui empat kali rotasi,menunjukkan bahwa butir yang
valid dan reliabel terdiri atas 11 item yaitu, item 1,3,7,14,15,16,18,19,24,35,
dan 36. Item no 1,3,15,18 dan 24 mewakili faktor intenal (I) ; Item no 7,14 dan
19 mewakili faktor powerful other (P) sedangkan item no 16,35 dan 36 mewakili
faktor chance (C)
Koefisien
reabilitas tersebut sejalan dengan reabilitas yang di temukan oleh Agustomo
(1983) yang memperoleh reabilitas rxx1 = 0,750;
Hendi (1895) rxx1=
0,751 ; dan Haryanto (1986 ) Yamg memperoleh raebilitas rxx1 =0,749(Aswar
, 2013 ).
Berdasarkan hasil analisis tersebut
dapat di simpulkan bahwa IPC–locus of
control Levenson cocok digunakan mengukur locus of control siswa SD .Akan tetapi dari,39 item, hanya
11 yang valid dan raliabel untuk digunakan mengukur locus of control siswa SD. Meskipun hanya 11 item, sangat jelas
indikasinya bahwa instrumen IPC-locus of control Levenson benar-benar mewakili
3 faktor yang menjadi indikator locus of
control.
Melalui sekala IPC-locus of control Levenson, siswa SD dapat dikelompokan menjadi 3
kelompok, yaitu kelompok 1 adalah mereka yang meyakini bahwa kejadian-kejadian
dalam hidupnya ditentukan terutama oleh kemampuan dirinya sendiri; kelompok 2
adalah mereka yang meyakini bahwa kejadian-kejadian dalam huidupnya ditentukan
terutama oleh orang-orang lain yang lebih berkuasa; dan kelompok 3 adalah
mereka yang meyakini bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan terutama
oleh nasib, peluang, dan keberuntungan semata.
Berbasis pemilahan kepribadian
tersebut, maka guru akan lebih mudah untuk membangun dan memberdayakan motivasi
belajar siswa, baik secara individual maupun berkelompok, dari pada harus
membangun dan memberdayakan motivasi belajar siswa secara kolektif. Sangat
mungkin terjadi bangunan dan pemberdayaan motivasi belajar akan jauh lebih
efektif apabila didasarkan atas kepribadian siswa atau berdasarkan locus of control siswa. Hal ini sejalan
dengan teori atribusi atau teori persepsi penyebab yang mendasari penelitian
ini.
SIMPULAN
DAN SARAN.
Sesuai dengan hasil analisis atau
instrumentasi dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sekala IPC-locus of control Levenson lebih sesuai
dan lebih cocok dibandingkan dengan sekala locus of control dari Rotter jika digunakan untuk mengukur locus of control siswa SD. Oleh karena
itu, sebelum guru membangun dan memberdayakan motivasi belajar siswa SD,
hendaknya diketahui dahulu kepribadian masing-masing siswa SD berdasarkan
ukuran locus of controlnya. Ketika mengukur locus of control siswa SD, disarankan
agar guru menggunakan skala IPC-locus of control Levenson.
DAFTAR RUJUKAN
Ames, C., & Archer,J.
1988. Achievement Goals in the Clas room: Student’ Learning Strategies
and Motivation Processes. Jurnal of
Educational Psycbology. 80 (3): 260-267.
Azwar, S. 2013. Penyusunan
Skala Psikologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandura, A. 1997.
Self-Efficacy: The Exercice of control. New York: Freeman.
Corsini, A., & Marsella, A.J. 1983. Personality Theories: Research and Assessment. USA: University of
Hawai at Manoa, Peacock Published, Inc.
Emmanuel, A-O., Adom, E.A.,Josephine, B.,&Solomon,
F.K.2014. Archievement Motivation,Academic Self-Concept And Academic Achievment Among High School Students. European Journal of research and
reflection in Educational Sciences.2(2): 24-37.
Ghozali,A.& Fuad.2008. Structural
Equation Modeling :Teori, konsep, dan Aplikasi dengan progam LISREL
8.80. Semarang :Ba dan penerbit Universitas Diponegoro.
Graham ,S.& Wiliams,C. 2009 An. Attributionial Approach
to Motivation in school .Dalam K.R. Wentzel &A.
Wigfield (Eds.).Handbook of Motivation of School
(hlm.11-33).New York: Roudledge.
Halpert, R.,& Hill, R. 2011. 28 Measure of Locus of Control.Beach Haven, NJ: Will To Power Press.
Heider, F. 1958. The
Psychology of interpersonal Relation.New York: Wiley.
Jung, J.1958.Understanding
Human Motivation:Acognitive approach. New
York: Mc Millan.
Kreitner & Kinicki .2005. Perilaku
Organisasi Buku, I. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Lasagabaster, D. 2011. English Achivement in CLIL and EFL
settings. Innovation in Language Learning and Teaching
.5 (1) :3-18.
Moore, L.L.,Grabsch, D.K,& Rotter, C..2010. Using Achievement Motivation Theory to
Explain Student Participation in a Residential Leadership Learning Community. Journal
of Leadership Education .9 (2) :22-34
Phares, E.J 1957. Expectancy Change in Skill and Chance
Situations. Journal of Abnormal and Social Phycology
.54:457-477
Phares, E.J. 1976. Locus
of control in personiality. Morrystowen,NJ:General Learning Press
Printich, P.R, 2000. An Achievement Goal Theory Prespective
on Issues in Motivation Terminologi, Theory, and Research, Contenporary Educational
Psychologi .25:92-104
Rotter, JB.1966. Generalized Expectancies for internal
versus External Control of Rainforcement. Psychological Monograps 80
(1):1-28
Schunk,D.H & Zimmerman, B.J,
2006. Competence
and control Beliefs ; Distinguishing the means and Ends. Dalam P.A. Alexander & P.H .Winne
(Eds). Handbook of educational Psycology.
(hlm.349-367) Marwah, NJ: Erlbaum
Schunk, D.H. 2012. Learning
theories: An
Edicational Perspective 6th Edition. Boston, MA: Pearson Education ,Inc
Schunk, D.H.et.al.,2008. Attributionbas
Motivators of Self Regulated Learning. New York: Taylor &Francois.
Schunk, D.H et.al., Pintrich, P.P &
Meece, J.L. 2012. Motivation in
Education: Theory, Research, and Applications. Upper saddle River: Pearson
education, inc.
Strobel, K.2010. Issue
Brief: Practices
that Promote Middle School Students’
Motivation and Acrhievement,
Jhon W. Gardner Centre.
Turner, E.A., Chandler, M., &
Heffer, R.W. 2009. Then Influence of Parenting Styles, Achievement Motivation,
and Self-Efficacy on Academic Performance in College Students. Journal of College Stundents Development.
50(3): 337-346.
Weiner, B. 2004. An Perception of Achievement Motivation and Emotion. New York:
Springer-Verlag.
*Dr. M.KHUSNUL MA’ARIF, M.Pd, Ketua APSI dan Koordinator Pengawas Kab Nganjuk
No comments:
Post a Comment