APSI Nganjuk

My photo
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Sebagai Media Informasi Pendidikan & Pembelajaran (Dari Kita Untuk Semua) Kontak: 082143737397 atau 085735336338

Wednesday, June 8, 2011

KONSEP PENGEMBANGAN PEMBIASAAN di TAMAN KANAK KANAK

Pembiasaan (habituation) merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang. Sikap atau perilaku yang menjadi kebiasaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Perilaku tersebut relatif menetap.
b. Pembiasaan umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa mengingat atau meniru saja.
c. Kebiasaan bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman atau belajar.
d. Perilaku tersebut tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap stimulus yang sama.

Untuk menanamkan pembiasaan terhadap anak usia Taman Kanak-kanak, yaitu usia 4-6 tahun bersifat fleksibel, dan dapat dilaksanakan secara rutin, spontan dan terprogram.

A. Metode Pembelajaran Perilaku melalui Pembiasaan
Untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif dalam rangka mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan anak di dalam melakukan pengembangan perilaku melalui pembiasaan sejak dini, menurut Campbell dan Campbell dapat dilakukan dengan berbagai metode sebagai berikut.
1. Pengubahan Perilaku (behavior modification)
Metode ini merupakan suatu pengubahan perilaku yang berdasarkan atas prinsip-prinsip ‘penguatan’ (reinforcement). Metode ini biasanya berhasil untuk mengubah/mengurangi perilaku yang berlebihan dan membentuk perilaku yang belum ada pada individu.
2. Pembelajaran (Instructional Technique)
Metode ini dilakukan dengan memberikan instruksi yang spesifik dan konkret tentang perilaku yang dikehendaki. Instruksi-instruksi tersebut berfungsi untuk mengkoreksi yang salah dan mengajarkan perilaku baru.
3. Berbasis Hubungan (Relationship-based)
Metode ini dilakukan untuk membantu menciptakan suasana yang mendukung untuk dapat terjadi proses belajar. Metode ini bertujuan mempertahankan hubungan antara guru sebagai pelatih dengan anak dalam belajar terstruktur agar terjadi proses belajar yang efektif. Biasanya dapat digabungkan dengan metode pertama dan kedua. Untuk mempertahankan hubungan antara guru dengan anak, antara lain dengan cara:
a. Dorongan empati dengan cara mendengarkan kesulitan-kesulitan anak dalam mengikuti belajar terstruktur, menghargai usaha anak, mendorong keterlibatan anak, dan sebagainya.
b. Identifikasi masalah anak, yaitu mengenali apa yang menjadi hambatan anak.
c. Mengurangi rasa keterancaman pada anak dalam situasi belajar terstruktur, antara lain menciptakan rasa aman, dengan kata-kata atau perilaku dan menyederhanakan prosedur.
4. Penguatan Kelompok (Group Reinforcement)
Penguatan kelompok merupakan referensi yang diberikan oleh kelompoknya (peer). khususnya pada remaja. Jenis referensi ini penting karena mereka sangat mengacu kepada kelompok sebaya (peers). Metode ini pada umumnya digunakan untuk menjelaskan kepada anak yang ikut belajar terstruktur tentang apa yang hendak dicapai. Cara pembelajaran ulang (reinstructional) dapat dipakai pula untuk memperjelas perilaku apa yang akan dibentuk.
Penguatan Kelompok dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara, yaitu:
a. Pemodelan (Modelling), yaitu memberikan contoh perilaku apa yang diharapkan atau dengan perkataan lain belajar melalui imitasi.

b. Bermain Peran (Role Playing) sering dilakukan segera setelah modelling, supaya jelas dan tidak terjadi kesalahan persepsi. Bermain peran dilakukan dengan menciptakan suatu situasi dimana individu diminta untuk melakukan suatu peran tertentu (yang biasanya bukan peran dirinya) di suatu tempat yang tidak biasanya peran tersebut terjadi. Manfaat dari role playing adalah membantu seseorang mengubah sikap atau perilaku dari yang selama ini dilakukan
c. Simulasi (Simulation) adalah kegiatan yang dilakukan untuk meng-gambarkan suatu situasi atau perilaku yang sebenarnya.
d. Balikan Penampilan (Performance Feedback) adalah informasi yang menggambarkan seberapa jauh hasil yang diperoleh dari role playing. Bentuknya dapat berupa reward, reinforcement, kritik dan dorongan.
e. Alih Keterampilan (Transfers of Training).

Agar penguatan berlangsung efektif, perlu memperhatikan hal hal sebagai berikut:
a. Penguatan yang mana yang paling cocok dengan karakter masing-masing individu. Misalnya: material penguatan dapat berupa benda-benda seperti permen, uang, dan sebagainya.
b. Penguatan sosial (social reriforcement), seperti: pujian, penerimaan, dan sebagainya.
c. Penguatan sendiri (self reinforcement), yaitu evaluasi yang positif dari individu atas perilakunya sendiri. Misalnya rasa puas atas prestasi diri sendiri

B. Dimensi Pengembangan Perilaku pada Anak
Ada beberapa dimensi pengembangan perilaku pada anak, yaitu:
1. Pengembangan Perilaku Moral
Perilaku moral dapat diartikan cara pikir atau cara pandang seseorang yang akan tercermin dalam pola pikir dan pola tindak seperti dalam bersikap,berbicara atau mempersepsikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dimana anak berada.
Pengembangan perilaku moral dipengaruhi oleh:
a. Keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak.
b. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tujuan menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan sopan santun juga tentang aturan-aturan yang berlaku.
c. Masyarakat mempengaruhi dalam pembentukan kepribadian anak melalui cara pandang dan perlakuan terhadap anak.
Penanaman sopan santun, tata krama dan budi pekerti yang paling baik dan efektif dilakukan sedini mungkin sebab perwujudan dari jiwa yang telah berisi nilai moral akan berkembang bersama nilai-nilai lain yang akan dijadikan nilai sebagai pedoman dalam perilaku keseharian.
Pembelajaran Perilaku Moral dapat dilakukan, antara lain melalui:
a. Mulai dari hal-hal yang konkret
Pada mulanya pemahaman tentang nilai agama dan ketuhanan diperoleh melalui benda-benda konkret, karena anak belum dapat memahami konsep abstrak seperti Tuhan ada tetapi tidak terlihat olehnya. Untuk itu perlu bimbingan dari orangtua mulai dari kejadian yang langsung dapat dirasakannya, misalnya melalui cerita tentang hujan.
b. Ciptakan kesenangan
Sebaiknya jangan ada paksaan bagi anak dalam mempelajari perilaku keagamaan, sebab segala sesuatu yang dipaksakan tidak akan berdampak positif. Sebaliknya, ciptakan kesenangan, suasana menarik setiap kali anak menjalankan berbagai ritual keagamaan. Misalnya, mengajak anak sholat bersama-sama, pergi ke sekolah minggu di gereja, berdoa sebelum makan dan tidur.
c. Pendidikan, pelatihan dan pembimbingan
Pembelajaran perilaku moral melalui pendidikan, pelatihan dan pembimbing-an dapat dilakukan melalui:
Keteladanan
Anak amat peka terhadap apa yang dia lihat, dengar dan rasakan di sekelilingnya, karena pada hakikatnya anak adalah manusia kecil yang senang meniru. Pendidik dan orang dewasa disekitar anak adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya dalam tindak-tanduknya.
Adat kebiasaan
Kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik merupakan hal yang sangat manjur bagi munculnya perilaku yang sama pada anak.
Nasihat
Nasehat dengan kata-kata yang lemah lembut dan penuh kasih sayang akan sangat mempengaruhi sikap anak yang cenderung menolak keingingan orangtuanya
Pemberian perhatian
Perhatian adalah suatu cara untuk mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan sikap beragama. Sebagai contoh perhatian terhadap kata-kata yang digunakan anak saat membalas salam, cara berpakaian yang sopan ataupun melarang ucapan yang berbohong.

2. Pengembangan Sikap dan Perilaku Beragama/Spiritual
Perilaku Sikap Beragama ditunjukkan oleh anak untuk dapat melakukan kebaikan atau menghindarkan pada keburukan sehingga anak kelak mampu memilih jalan yang dapat mengantarkannya kepada kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia.
a. Tahapan Perkembangan Sikap dan Perilaku Beragama
Perkembangan sikap dan perilaku beragama anak melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:
1) Tingkatan dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkat ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Penghayatan untuk konsep ke-Tuhanan berkembang sesuai dongeng tingkat perkembangan intelektualnya, artinya anak menanggapi agama masih menggunakan konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2) Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat ini dimulai pada anak berusia 7-15/16 tahun atau sejak anak masuk SD sampai usia remaja akhir (Adolesense). Pada tingkat ini ide anak tentang ke-Tuhanan sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada tingkatan (realis). Konsep tentang ke-Tuhanan muncul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pembelajaran ajaran dari orang dewasa lainnya.
3) Tingkat Individu (The Individual Stage)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.
Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan yaitu:
(1) Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
(2) Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perseorangan).
(3) Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti ideas concept on outhority (ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius), artinya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka.
b. Bentuk dan sikap beragama pada anak
1) Tidak Mendalam (Unreflective)
Anak menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Ajaran agama mereka terima begitu saja tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima cukup sekedarnya saja, tidak perlu mendalam. Seringkali anak sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian ada beberapa anak yang memiliki ketajaman pikiran untuk mempertanyakan apa yang diajarkan pada mereka.
2) Egosentris
Konsep keagamaan dipandang dari kesenangan pribadinya, misalnya anak senang pergi ke rumah ibadah dengan orangtuanya karena sepulang dari sana biasanya orangtuanya mengajak mereka ke toko atau ke warung untuk membeli sesuatu yang anak sukai.
3) Anthromorphis
Melalui konsep-konsep yang terbentuk dalam pikiran dan daya fantasi anak, seringkali mereka menganggap bahwa perilaku dan keadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Sebagai contoh, konsep tentang Tuhan itu maha melihat dimaknai oleh anak bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka layaknya orang mengintai.
4) Verbalis dan Ritualis
Kehidupan beragama pada anak sebagian besar terjadi melalui ungkapan verbal (ucapan). Mereka menghafal doa dan atau kalimat puji-pujian melalui ucapannya. Praktek keagamaan yang bersifat ritualis seperti sholat bersama keluarga di rumah merupakan hal yang sangat berarti bagi perkembangan sikap beragama pada anak.
5) Imitatif
Sebagai peniru yang ulung anak mampu mewujudkan tingkah laku keagamaan (religius behaviour). Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. Anak akan meniru semua perilaku keagamaan baik yang mereka dengar, lihat, rasakan dan lakukan oleh orang dewasa.
3. Pengembangan Perilaku Disiplin
Perilaku disiplin adalah kemampuan seorang anak untuk menyeimbangkan antara pola pikir & pola tindakan dikarenakan adanya situasi dan kondisi tertentu dengan pembatasan peraturan yang diperlukan terhadap dirinya oleh lingkungan dimana individu berada.
Tujuan perilaku disiplin pada anak:
a. Secara umum: membentuk perilaku sedemikian hingga akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan kelompok budaya atau tempat individu itu diidentifikasi.
b. Jangka pendek: Membuat anak terlatih dan terkontrol perilakunya dengan membelajarkan pada anak tingkah laku yang pantas dan tidak pantas atau yang masih baru / asing bagi mereka.
c. Jangka panjang: melatih pengendalian diri sendiri (self control and self direction) yaitu dalam hal mana anak-anak dapat mengendalikan diri sendiri tanpa terpengaruh dan pengendalian dari luar.

Beberapa alasan kedisiplinan perlu diterapkan pada anak, yaitu:
a. Mengontrol tingkah laku anak (mengatur diri sendiri).
b. Menjaga anak dari bahaya baik bagi dirinya ataupun orang lain.
c. Menghindarkan diri anak dari kesalahan pahaman.
d. Membuat anak disenangi karena dapat berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat dimana anak berada.
e. Menyadarkan anak anak bahwa ia mampu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri dan diharuskan melakukan apa yang kita tentukan.
f. Melalui disiplin anak belajar bertingkah laku yang menimbulkan pujian, ia akan melihat ini sebagai indikasi dari cinta dan penerimaan .
g. Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani atau suara-suara halus didalam diri yang membantunya dalam membuat keputusan dan mengendalikan tingkah laku.

Penanaman disiplin mulai diterapkan pada anak
a. Sejak anak dilahirkan, melalui pembiasaan pemberian susu.
b. Disaat anak mulai mengenal lingkungan rumah dan sekitarnya.

Bentuk pendisiplinan pada anak TK
a. Disiplin pergi sekolah.
b. Disiplin di sekolah.
c. Disiplin merapikan mainan.
d. Disiplin memakai pakaian & sepatu.
e. Disiplin bangun tidur.
f. Disiplin waktu makan bersama.

4. Pengembangan Perilaku Emosional
Perilaku emosional merupakan bagian dari kecerdasan emosional yang melibatkan perasaaan dan emosi baik pada diri sendiri dan pada orang lain. Perilaku emosional ditunjukkan dengan kemampuan untuk memahami diri dan orang lain, mengungkapkan perasaan, mengendalikan amarah, sampai berempati pada orang lain.
Pentingnya pengembangan perilaku emosional, bagi anak usia TK
a. Sebagai bekal untuk mengatasi setiap persoalan yang penting dalam kehidupan.
b. Kecerdasan emosional perlu diajarkan di TK supaya anak-anak mempunyai peluang untuk memperoleh keterampilan yang akan membantu mereka menjadi lebih kebal terhadap tekanan-tekanan (depresi) dan atau gangguan emosional lainnya. Sampai akhirnya anak mampu mengendalikan dan mengelola emosinya secara baik.

Kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional:
a. Kemampuan mengenali emosi diri.
b. Kemampuan mengelola emosi.
c. Kemampuan motivasi diri.
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain.
e. Kemampuan membina hubungan.
Pembentukan Kecerdasan emosional:
a. Emosi terbentuk selama proses pengasuhan.
b. Pengalaman awal seorang anak akan menjadi dasar bagi pengembangan emosional sepanjang hidupnya.
Ciri perilaku emosional pada anak TK, antara lain:
a. Lebih mudah bergaul.
b. Menaruh minat pada kegiatan orang dewasa.
c. Mampu menahan tangis dan kecewa.
d. Menunjukkan rasa saying.
e. Minta di ceritakan dongeng dan di dendangkan lagu.
f. Mulai melatih kemandirian.
g. Mengenal sopan santun.
h. Antusias saat belajar.
i. Sabar menunggu giliran.

Nilai-nilai yang terdapat dalam emosi anak, antara lain:
• Kemarahan

• Malu


• Kesedihan

• Gembira


• Afeksi (kasih sayang)

• Takut


• Cemburu

• Anxiety (cemas)


• Empati

• Stress

Sumber :Depdiknas, Dirjen manajemen Pendidijan dasar dan menengah, Dir Pembinaan TK dan SD 2007

No comments:

Post a Comment