APSI Nganjuk

My photo
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Sebagai Media Informasi Pendidikan & Pembelajaran (Dari Kita Untuk Semua) Kontak: 082143737397 atau 085735336338

Monday, August 20, 2012

Silaturahmi

Kata silaturahim sudah menjadi bahasa Indonesia. Penulisan alih kata (translatter) yang tepat untuk  ini adalah silaturahim, sesuai dengan pengertian bahasa dan etimologi yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

Penulisan alih kata yang kurang tepat, dan sering kita temukan di media cetak untuk “shilatur rahim” adalah dengan “silaturahmi” karena tidak sesuai dengan pengertian etimologi dan terminologi.

Secara etimologi, silaturahim adalah ungkapan gabungan antara mudhaf (yang disandarkan), yakni ‘Shilah’ dan mudhaf ilaihi (tempat penyandaran mudhaf), yakni ‘Rahim’. Shilah merupakan mashdar dari washala, artinya menggabungkan sesuatu kepada sesuatu saat ada kaitan dengannya, lawan kata dari hijran (meninggalkan). Sedangkan ar-rahimu pecahan kata rahima.

Sedangkan secara terminologi, Imam Nawawi memberi batasan, “Shilatur rahim artinya berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi yang menyambung maupun yang disambung. Kadang kala dengan harta benda, pelayanan, kunjungan, salam, dan lain-lain.”

Ibnu Manzhur menjelaskan adanya kaitan antara kedua pengertian etimologi dan terminologi. Ia katakan, “Shilatur rahim merupakan kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang ada hubungan nasab maupun perkawinan, bersikap sayang dan santun kepada mereka, memperhatikan kondisi mereka, meskipun mereka jauh atau menyakiti. Qath’ur rahim adalah lawan katanya. Seolah-olah dengan berbuat baik kepada mereka hubungan kekerabatan, perkawinan, dan hubungan sah telah terjalin.”

Mengenai batasan rahim yang wajib disambung, Nawawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang batasan rahim yang wajib disambung. Ada yang berpendapat, setiap rahim itu muhrim. Di mana jika salah satunya perempuan dan yang lain laki-laki, tidak boleh menikah. Ada lagi yang berpendapat, ia bersifat umum mencakup semua yang ada hubungan rahim dalam hak waris. Antara yang muhrim dan tidak, sama saja. Inilah pendapat yang benar sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah jika seseorang menyambung kerabat cinta ayahnya.”

Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi perintah bagi kaum mukminin untuk melaksanakan silaturahim.

1. “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Al-Baqarah: 83)

2. “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)

3. “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 215)

4. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’: 36)

5. “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal: 74-75)

6. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

7. “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22)

8. “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.” (Rum: 38)

9. “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” (Al-Ahzab: 6)

10. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa’: 1)

11. “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’du: 19-21) (dkw)

Berikut ini hadits-hadits tentang silatur rahim:

1. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jagalah nasab kalian akan tersambung kekerabatan kalian. Sesungguhnya tidak ada (kata) jauh bagi rahim jika (nasab) dekat, walaupun ia (nasab) itu sendiri jauh dan tidak ada kedekatan (rahim) jika (nasab) jauh walaupun ia (nasab) itu jauh. Setiap rahim akan datang pada hari Kiamat kepada si empunya dan menyaksikannya (telah) menyambung silatur-rahmi jika ia telah menyambungnya. Ia juga menjadi saksi bahwa ia telah memutuskannya jika memang telah memutuskannya.” [Al-Adab Al-Mufrid serta Syarahnya (1/256 hadits nomor 73) para perawinya Tsiqat. Di Al-Mustadrak diungkapkan dengan redaksi yang mirip. Al-Hakim berkata, "Shahih menurut kriteria Syaikhain namun salah satu dari keudnya tidak ada yang mengeluarkannya. Adz-Zahabi dalam At-Talkhis-nya tidak berkomentar tentang hadits tersebut. Sedangkan pada (4/161) ia berkata, "Shahih menurut kriteria Syaikhain dan Adz-Zahabi sepakat."]

2. Amr bin Abasah ra berkata, “Aku mendatangi Rasulullah di permulaan diutusnya beliau kala beliau berada di Mekah. Saat itu beliau sedang bersembunyi. Aku tanyakan, “Kamu ini apa?” Beliau menjawab, “Aku nabi.” Aku tanyakan, “Apa itu nabi?” Beliau menjawab, “Utusan Allah.” Aku tanyakan lagi, “Dengan (misi) apa kamu diutus?” Beliau menjawab, “Agar Allah disembah, patung-patung dihancurkan, dan kekerabatan disambung dengan kebajikan hubungan.” [Al-Hakim (4/149) ia berkata, "Hadits ini shahih menurut kriteria Syaikhain namun keduanya tidak mengeluarkannya, Adz-Zahabi mengakuinya."]

3. Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah menemui seorang Arab Baduwi di satu jalan di Mekah. Abdullah mengucapkan salam kepada mereka. Ia lalu membawa orang itu naik keledai yang tadinya dinaikinya dan memberi surban yang tadi berada di kepalanya. Ibnu Dinar berkata, “Kami berkata kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memperbaikimu. Mereka itu orang-orang Arab Baduwi. Mereka terima barang sederhana itu.” Abdullah berkata, “Ayah orang itu dulu merupakan kekasih Umar bin Khatthab. Sedangkan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kebajikan paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang dekat ayahnya.” [Muslim, hadits no. 2552]

4. Abu Ayyub Al-Anshari r.a. meriwayatkan, seseorang berkata kepada Nabi saw, “Katakan kepadaku tentang suatu amal yang memasukkanku ke surga.” Beliau menjawab, “Hak-Nya, hak-Nya.” Nabi melanjutkan, “Hak-Nya adalah agar kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan silatur-rahim.” [Bukhari, Fathul Bari III (1396) dengan redaksi miliknya. Muslim (14)]

5. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah pasti akan memakmurkan negeri suatu kaum, membuat harta benda mereka berkembang, dan sejak menciptakan mereka tidak pernah melihat mereka dengan kemurkaan.” Ada yang bertanya, “Bagaimana itu terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dengan silatur rahim mereka.” [Al-Hakim (4/336) dan ia berkata, "Hadits shahih gharib dan Adz-Zahabi sepakat. Haitsami berkata, "Diriwayatkan Thabrani dengan sanad hasan. Majma' Az-Zawaid (8/152), Al-Munziri menukilnya di Targhib dan Tarhib (3/336), Haitsami juga menyebutkan teksnya]

6. Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya rahim itu ikatan yang kokoh dengan Arasy yang berbicara dengan bahasa yang fasih, ‘Ya Allah, sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutuskanku.’ Allah befirman, ‘Akulah Ar-Rahman dan Aku Ar-Rahim. Sesungguhnya Aku mengeluarkan (kata) rahim dari nama-Ku. Siapa menyambungnya Aku menyambungnya dan siapa memutusnya Aku juga memutusnya.” [Hadits ini mempunyai dasar di Bukhari, Al-Fath 10 (5988). Adabul Mufrid juz I hlm. 92-93 nomor hadiys 53, 54, 55. Majma' Az-Zawaid (8/151). Sedangkan redaksi hadits di atas ada di kitab terakhir ini. Diriwayatkan Bazzar dengan sanad hasan. At-Targhib wa At-Tarhib (3/340), penulisnya berkata, "Hadits ini hasan dan ia didukung hadits berikutnya."]

7. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai menciptakan, rahim berdiri dan berkata, ‘Inilah tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari memutuskan hubungan.’ Allah menjawab, ‘Benar. Ridhakah kamu jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu.’ Ia menjawab, ‘Mau, wahai Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Itu menjadi milikmu.’ Setelah itu Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian mau, bacalah…”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 22-24). [Bukhari, Fathul Bari I (5987). Muslim (2554). At-Targhib wa At-Tarhib (3/338,339)]

8. Abu Dzar r.a. berkata, “Kekasihku (Rasullullah) berpesan kepadaku agar aku tidak menghiraukan cercaan orang yang mencerca. Dia juga berpesan agar aku bersilatur-rahim walaupun ia menjauhiku.”

9. Abdullah bin Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Abu Sufyan bin Harb r.a. bercerita kepadanya, Hiraclius mengutus seseorang bersama kafilah Quraisy, mereka para pedagang yang berdagang ke Syam. Dan pada saat itu Rasulullah saw. berdamai dengan Abu Sufyan serta orang-orang kafir Quraisy. Mereka mendatangi Abu Sufyan kala mereka berada di Iliya’. Orang itu mengundang mereka agar datang di majelisnya sedangkan di sekitarnya terdapat para pembesar Romawi. Ia juga memanggil penterjemah lalu bertanya, “Siapakah di antara kalian yang lebih dekat nasabnya dengan orang yang mengaku nabi itu?” Abu Sufyan menjawab, “Akulah yang paling dekat nasabnya.” Orang itu berkata lagi, “Dekatkan ia denganku.” Mereka mendekatkan Abu Sufyan dan dekatkan pula sahabat-sahabatnya, lalu tempatkan mereka di belakangnya. Orang itu berkata kepada para penerjemahnya, “Katakan kepadanya, aku akan bertanya kepada orang tersebut. Kalau ia berdusta, dustakan dia.” Demi Allah, seandainya bukan karena rasa malu hingga membuat mereka mengalamatkan dusta kepadaku, pastilah aku akan berbohong tentang dirinya. (Al-Hadits). Di hadits itu juga diceritakan, “Kalian diperintah apa olehnya?” Ia menjawab, “Sembahlah Allah dan sekutukan Dia dengan suatu apapun, juga tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang mereka. Ia juga memerintahkan agar kami melakukan shalat, jujur, menjaga iffah, dan silatur-rahim.”

10. Ummi Ruman r.a. berkata, “Ketika aku berada di tempat Aisyah, tiba-tiba seorang perempuan Anshar masuk lalu berkata, bahwa Allah telah memperlakukan sesuatu kepada anaknya.” Aisyah berkata, “Mengapa?” Wanita itu menjawab, “Orang itu (anaknya) termasuk yang meriwayatkan hadits…” Aisyah bertanya, “Hadits apa?” orang itu menjawab, “Hadits yang itu.” Aisyah bertanya, “Apakah berita ini sampai kepada Rasulullah?” Orang itu menjawab, “Sudah.” Ia bertanya lagi, “Apakah juga kepada Abu Bakar?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu Aisyah jatuh pingsan. Itu tidak kunjung siuman kecuali menderita demam dan kejang-kejang. Ummi Ruman berkata, aku bangun dan menyelimutinya. Kemudian Rasulullah saw. masuk dan bertanya, “Kenapa dia?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, ia terkena demam kejang-kejang.” Beliau bersabda, “Karena ada cacat hadits yang dibicarakannya.” Ummu Ruman berkata, lalu Aisyah duduk tegak seraya berkata, “Demi Allah, kalau aku bersumpah di hadapan kalian pastilah kalian tidak percaya kepadaku dan jika aku meminta izin kepada kalian pastilah kalian tidak memberi izin kepadaku. Perumpamaan aku dengan kalian seperti Ya’qub dan anak-anaknya. Allah Tempat meminta pertolongan atas apa yang kalian katakan.” Lalu Rasulullah saw. keluar lalu turunlah ayat yang memberinya izin. Rasulullah lalu kembali bersama Abu Bakar seraya berabda, “Hai Aisyah, Allah telah menurunkan ayat tentang izinmu.” Ia berkata, “Dengan memuji Allah dan bukan memujimu.” Ia bercerita, kemudian Abu Bakar berkata, “Apakah kamu mengatakan hal ini kepada Rasulullah?” Ia menjawab, “Benar.” Maka yang termasuk orang yang menyampaikan hadits adalah orang yang pernah dipelihara Abu Bakar. Abu Bakar kemudian bersumpah untuk tidak bersilatur-rahim dengannya. Lalu turunlah ayat, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22). Abu Bakar berkata, “Benar, lalu bersilatur-rahmi dengannya.”

11. Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi r.a. berkata, “Ketika berada bersama Rasulullah tiba-tiba seseorang datang Bani Salamah lalu berkata, “Ya Rasulullah, apakah masih ada sisa kebaikan orang tuaku yang perlu aku lakukan sepeninggal mereka?” Beliau menjawab, “Ada. Berdoa untuk mereka, meminta ampunan untuk mereka, melaksanakan janji mereka, memuliakan teman-teman mereka, dan bersilatur-rahim dengan orang yang tidak ada hubungan keluarga selain melalui mereka.”

No comments:

Post a Comment